Minggu, 03 Juni 2012

Tiga Hari Melancong ke Negeri Orang


Jurnal - Tiga Hari Melancong ke Negeri Orang
(dari ke kota sampai ke antah berantah)

Bismillahirrohmaanirrohiim.


Hari 1
MINGGU, 27 Mei 2012
Tempat: Jambodroe Cafe - Galeri Nasional, Jakarta
Acara: Launching buku antologi Unyu in Love - Love Song
Host: Cokelat Kopi Writing

Jam tiga pagi aku sudah bangun. Di hari-hari biasa sih aku pasti bakal tidur lagi kalau jam segitu nggak sengaja bangun. Tapi, nggak kali ini, karena hari ini bukan hari biasa. Di pagi yang masih buta kala itu, aku memilih untuk terjaga: menunggu subuh. Maklum, hari itu ada acara yang sudah lama ditunggu-tunggu. Jangan sampai jadi Miss Ngaret lagi deh. Kasian yang in time, nunggunya kelamaan xp

Sudah sholat, mandi, juga sarapan, jam setengah tujuh lewat dikit aku berangkat ke tempat ketemuan, Gerbang Citra Raya, dengan menumpang ojek. Babeh nggak bisa nganter karena beliau juga lagi persiapan mau pergi ke Bogor sama si mama.

Sepersekian menit, aku langsung liat penampakan Hardia Rayya yang mengenakan jaket jeans biru berpasangan dengan celana jeans yang dia bilang bermerek belel. Tanpa basa-basi-baso, kita langsung capcus ke Kebon Jeruk naik Bulan Jaya yang masih sepi penumpang.

Beruntung, karena masih pagi dan jalanan masih lengang, kami sampai dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Perjalanan salanjutnya menuju Jakarta, kami menumpang bis besar berwarna biru yang nggak aku perhatikan namanya. Sepanjang perjalanan, kalau nggak ngobrol, kita menyibukkan diri masing-masing. Aku membaca Gundamayu pinjaman dari Hardia, sedangkan dia entah melakukan apa. Ngupil mungkin :p

Aku menutup bukuku saat bis sudah memasuki kawasan Jakarta. Di mana saat memandang ke luar jendela, kami sudah disuguhkan dengan bangunan-bangunan berarsitektur kuno yang masih berdiri tegap. Aku selalu suka memandang arsitektur bergaya Belanda itu, sangat eksotis. Membayangkan suatu saat nanti bisa ke Negeri Kincir Angin yang sesungguhnya dan atau mengunjungi belahan daratan Eropa lainnya.

Kami turun dari bis pertama dan langsung menyambungnya lagi dengan bis lainnya, menuju Gambir. Kami masih disuguhkan bangunan-bangunan yang kemungkinan dibangun pada masa Kolonial itu. Bentuknya sangat klasik, unik. Yang paling kuingat, ada sebuah bangunan bertingkat dengan jendela besar bertralis melingkar, seperti sangkar burung. Lucu, tapi unik.

Otakku langsung menggambarkan, seorang gadis Belanda yang mengenakan gaun berwarna peach pernah memandang ke luar dari jendela itu. Kemudian matanya menangkap seorang pemuda pribumi yang tengah mengangkut barang entah apa, sepertinya pria itu kuli angkut. Mata keduanya saling bertautan cukup lama, dan bla bla bla. Hahahaha.

Kami menghentikan bis tepat di depan Stasiun Gambir. Kemudian berjalan ke sisi kiri (berlawanan dengan bis yang melanjutkan perjalanan ke kanan), menuju sebuah jembatan penyeberangan yang langsung mengantarkan kami ke depan pintu masuk Galeri Nasional Indonesia.

Berjalan dengan santainya, kami melewati pos satpam. Menuju kafe yang sudah pernah kita datangi dalam acaralaunching buku sebelumnya, dikesempatan lain dengan tuan rumah yang lain pula.

Masih sepi, tentu saja. Hardia Rayya ini memang selalu memilih untuk datang lebih cepat dari jam ketemuan daripada harus datang telat. Prinsip yang bagus, berlawanan arah dengan prinsip orang-orang Indonesia kebanyakan. Aku agak kerepotan juga mengimbanginya, karena sebetulnya aku termasuk orang-orang Indonesia yang kebanyakan itu. ;p

Selang beberapa menit, seseorang berambut pendek mengenakan jaket berwarna merah datang tanpa suara. Aku nggak mengenalnya. Hardia pun sama, karena sosok itu duduk membelakangi kami. Dia yang tampaknya juga nggak mengenali kami pun enggan menyapa duluan.

Tak lama, Wiewie datang dengan seorang pria yang nggak kukenal (Wiewie juga sebenarnya baru kukenal detik itu), tapi Hardia mengenalnya. Yah, bisa saja kita kenal di dumay, tapi toh belum tahu penampakannya. Dan sosok yang pertama itupun diperkenalkan oleh Wiewie sebagai Hani Chan. Nah, kan! Aku sudah berteman sama cewek bermata sipit ini difacebook, tapi tentu aja di dumay itu dia nggak keliatan sipitnya. Atau boleh dikatakan, karena aku biasa online gratisan jadi nggak pernah tahu apa gambar PPnya.

Hardia, Wiewie, dan kawannya itu sibuk memasang banner dan menghias panggung. Sementara aku yang ngerasa bukan panitia, duduk manis di meja pojokan, kembali menghabiskan bab-bab terakhir Gundamayu yang semakin seru. Hani duduk di meja yang sama, tapi dia pun sibuk dengan buku biologinya. Kupikir dia besok ada ulangan, tapi ternyata dia itu sedang me-review pelajarannya karena bersiap ikut UMPTN tahun ini. Cewek yang ternyata pendiam ini ingin mengambil jurusan Farmasi di UI. Wah, cita-cita yang sangat keren, semoga terlaksana! Aamiien.

Rombongan yang lainnya pun segera datang menyusul. Sumpah, aku sama sekali nggak kenal sama mereka kecuali Setiawan Chogah dan partner setianya, Hilal Ahmad. Di dumay, aku mungkin aja bisa SKSD dan berbalas komen, tapi di dunia nyata, aku yang asli pemalu ini cuma bisa menutup mulut rapat. Yah, kalau memang ada yang ngajak ngobrol duluan, aku pasti berterima kasih banget karena udah bikin aku nggak keliatan seperti kambing conge.

Hani Chan-lah orang itu. Dia ngajakin aku ke Gambir untuk nyari Story edisi terbaru yang belum sempat kami beli. Jalan-jalan lebih enak kan daripada diam di tempat.

Gambir berwarna hijau total. Stasiun yang sampai saat ini paling mewah dalam ingatanku. Kios-kios kecil tempat makan tersedia di sana. Dari makanan bermerek luar negeri sampai milik local yang belum dikenal. Yah, tapi kita sama sekali nggak mampir buat sarapan. Kita ke sana buat nyari Story. Di kios majalah pertama, kosong. Udah abis, katanya. Kemudian kita baru menemukan Story di kios majalah selanjutnya. Segitu aja perjalanan kami mencari Story. Kami nggak berniat mau ngeliat kereta, sudah ngeliat bule berseliweran di sana aja sesuatu banget. Ih, kamseupay deh Hani. :p

Kami pun balik lagi ke kafe, dengan sedikit terengah karena nggak naik-turun jembatan penyeberangan. Bisa aja kita lewat jalan lurus tanpa zebracross di bawah. Tapi itu nggak beretika banget, menurutku.

Ternyata di sana sudah ada Bunda Prima Sagita (gak pake Gutawa), salah satu teman facebook yang sudah lama pengin dijumpai. Hani pun mulai sibuk dengan Bunda Prima yang memang rekanan sebagai Panitia Seksi Konsumsi. Setelah itu aku nggak inget ngapain, Gundamayu sudah tamat dengan kepergian Dewi Uma dari Khayangan, meninggalkan suaminya Dewa Siwa.

Ohya, aku jadi penonton saat panitia launching Unyu in Love – Love Song ini lagi gladi resik untuk drama yang akan mereka suguhkan buat tamu nanti. Di belakangku, Hilal Ahmad dan Jhenny yang jadi MC pun lagi cek suara, nggak kalah rame dari pemain drama di depan.

Abah Yoyok pun datang, ikut membimbing unyu-unyu CK itu pas latihan. Dari situ Chogah dapet satu-dua jurus gombal
dari sang raja gombal CK. Maklum, Korwil Serang itu nampaknya nggak jago-jago amat kalau urusan ngegombal. Kihkihkih.

Bunda Prima memanggil semua panitia untuk sarapan siang (kalau sarapan pagi kan jam 7, yang ini sarapannya jam 11an gitu). Teras Jambodroe pun ditinggalkan kosong begitu saja. Nah, lagi enak-enaknya makan nasi goreng sosis bertelur mata sapi itulah, sepasang pria dan wanita yang nggak kalah unyu dari panitia datang. Keduanya mengenakan atasan berwarna merah menyala. Serasi sekali. Sudah janjian, apa emang kebetulan? Hanya mereka dan Sang Maha Tahu yang tahu. Mereka itulah, Ayah Handoko F. Zainsam dan Bunda Reni ‘Teratai Air’ Erina.

Bunda mengkoordinir panitia yang sudah menghabiskan sarapannya. Hihihi. Bunda lucu banget deh, sambil melempar komando, Bunda curcol tentang jalanan yang macet, tentang pencarian apa yang yang susah didapat, sambil erat memegangi piring nasi gorengnnya.

Persiapan selesai. Sebelum sholat dzuhr, panitia diajak briefing sama Dewan Cekers (Dekers). Aku nunggu di luar kafe karena bukan panitia, nggak enak juga kalau mau gabung. Sebenarnya dari luar juga masih jelas terdengar cuap-cuap Bunda Erin. Tapi, semilir angin yang sesekali menerpa terpal penutup panggung membuatku memejamkan mata.
Aku nyaris tertidur, kalau aja Bunda Prima nggak mengagetkanku. Aku terjaga sampai briefing yang ditutup dengan doa itu selesai. Kembali dari sholat, beberapa Cekers yang merupakan tamu undangan sudah tampak mengisi meja-meja yang disediakan.

Diantara yang menyapaku (karena sudah janjian ketemu) adalah Mbak Widi Astuti dari Bogor. Selebihnya aku nggak kenal. Inilah hasil dari cuma-jadi-tukang-ngintip di grup CK. Maklumlah, berkaca dari kisah sebelum-sebelumnya di grup yang lain selalu dikacangin, aku jadi mengidap semacam: fobia dikacangin. :p

Acara yang padat merayap berlangsung aman terkendali. Pengenalan panitia, sambutan Dekers dan perwakilan Cokelat
Kopi Publishing, pembacaan puisi, dll. Yang menegangkan adalah puncak acara: launching buku Unyu in Love – Love Song. Di mana duapuluh kontributornya yang berkesempatan sebuku dengan Dekers dan juga penulis tamu, Pak Boim Lebon, belum diketahui nama-namanya.

Salah satu penulis serial Lupus itu pun mulai membacakan lima nama kontributor Unyu in Love – Love Song dengan caranya sendiri, tentunya diselingi guyonan yang malah membuat tamu undangan gemes setengah lemes. Kemudian ke limabelas nama-nama selanjutnya dibacakan bergiliran oleh Dekers.

Setelah acara puncak itu, acara dihentikan untuk isoma. Tamu dipersilahkan untuk menyantap kembali makanan yang sudah tersedia, aneka jajanan tradisional yang selalu enak di mulut, makanan yang isinya nasi padat dengan suwiran ayam dan sayur yang mengenyangkan, roti goreng, pisang keju, dan lain-lain. Minumnya bisa diseduh sendiri sesuai selera, kopi ataupun teh, ada juga air mineral.

Seusai ashar, acara dibuka kembali dengan pementasan drama. Setiawan Chogah yang merupakan aktor utama bermain total, menghayati cerita. Cerita yang endingnya membuatku bergidik dan menatap mata. Karena dia berusaha memeluk Hardia Rayya. Sayang, aku lupa mendokumentasikannya. :[

Acara lanjut lagi dengan bedah buku dan tanya jawab, kalau nggak salah. Aku nggak memperhatikan karena Angger menarikku keluar acara untuk meminta janjiku menemaninya bernarsis ria di dinding bergambar mural.  

Sebentar aja foto-fotonya. Cuma tujuh gambar mural dikali sepuluh gaya. Narsisnya nggak ketulungan ini cewek! Selepas dari mural, bukannya kita gabung lagi di acara, malah milih buat duduk di taman di depan museum. Oh, btw, di GalNas sepertinya ada pameran yang memamerkan karya-karya Raden Saleh. Seingatku dia merupakan seorang pahlawan di Indonesia, aku lupa. Tapi Hardia bilang, lukisan-lukisan Raden Saleh memang bagus-bagus. Entahlah.

Memandangi senja, kami bertukar cerita. Sesekali mengintip Suhe Herman yang tengah temu kangen dengan Djami di gedung sebelah. Biarpun ngebagpacker gembel, tapi dia rela loh menembus jarak dari Bandung ke Jakarta demi ketemu kekasih hatinya itu. Sekalian mau ke acara CK juga sih.

Dari panggung, MC masih semangat membagi-bagikan doorprize untuk para tamu. Wih, sebenarnya pengen banget dapet kaos ataupun cokelatnya. Tapi aku selalu nggak mau berharap hadiah undian. nggak pernah beruntung!

Acara ditutup dengan foto-foto bersama. Yang paling pertama di foto adalah para kontributor Unyu in Love – Love Song yang kebetulan hadir di sana, diantaranya: Hilal Ahmad, Ayuni Adhesty, Wiewie Wie, Hardia Rayya dan seorang cewek berkerudung cokelat yang aku lupa namanya. Selamat ya!

Sementara tamu-tamu pulang, dan panitia sibuk berkemas-kemas, aku dan Angger menetap di mushola sebentar buat ngelurusin kaki. Datanglah Bunda Prima yang hendak mendirikan sholat. Tapi sebelum itu, dia malah memberikanku sebuah buku berjudul ‘Perempuan itu… Sesuatu’ (Universal Nikko, 2012) yang salah satu karyanya mejeng di sana. “Oleh-oleh dari rumah,” katanya.

Hehehe. Jadi nggak enak hati akunya, teringat komenan hari sebelumnya. Aku bilang aku nggak mau datang ke acara hari ini kalau nggak dibawain oleh-oleh sama Bunda Prima. Itu kan cuma bercandaan doang. Mana mungkin aku nggak datang sementara kalender sudah dibuletin merah, yang menandakan suatu acara penting yang harus didatangi. Hihihiy.

Selepas maghrib. Aku dan Angger kembali menyelipkan diri di barisan para panitia acara. Mendengarkan evaluasi dari Dekers (minus Abah Yoyok yang pamitan lebih dulu). Bunda dan ayah akan segera keliling pulau untuk mengenalkan buku pertama anak-anaknya ini. Setiap korwil di setiap daerah harus segera bersiap diri menjadi panitia acaranya.

Seusai makan malam yang ditemani dengan ayam goreng serundeng nyamnyam (aku dan Angger dikasih jatah, alhamdulillah), kami pun pulang menuju tempat peristirahatan kami masing-masing. Seingatku, Cekers Koer-Koer yang pamit paling pertama.

Di depan Gambir, Wf Ega Borneto memilih bisnya sendiri sementara aku dan Angger dikomandoi Hardia menaiki bus yang sudah berhenti, siap mengangkut kami.

Kita sampai di Kebon Jeruk dan melanjutkan perjalanan dengan Bulan Jaya. Aku turun lebih dulu, di Citra Raya. Sementara Angger masih lanjut ke Tigaraksa dan Hardia ke Balaraja.

-to be continued-

###

Tidak ada komentar:

Posting Komentar